Irwandi Koto

Sumber Tulisan : Disini

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra
Irwandi Koto. Saya mengenalnya ketika duduk berdampingan dalam penerbangan GA Padang-Jakarta pekan lalu (9/12) seusai menyampaikan makalah tentang ‘How Islamic is the Indonesia Ummah’ dalam seminar internasional, yang diselenggarakan Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Apa hubungan Irwandi Koto dengan ‘Islamisitas Umat Islam Indonesia?’

Islamisitas umat Islam di Indonesia dan banyak negara Muslim lain menurut survei SS Rehman dan Hossein Askari (2010) bertajuk ‘How Islamic are Islamic Countries’ berada pada tingkat rendah. Sebanyak 37 negara yang memiliki ‘Indeks Islamisitas’ tertinggi adalah negara-negara non-Muslim. Barulah setelah itu satu demi satu secara berselang-seling negara berpenduduk mayoritas Muslim muncul dalam ‘Indeks Islamisitas’—dengan Indonesia terpuruk pada tingkat 140.

Indeks Islamisitas yang ditawarkan kedua peneliti itu jelas tidak akurat dan distortif karena pendekatan dan parameter yang digunakan jauh daripada tepat; termasuk tentang apa yang dimaksudkan keduanya sebagai ‘Islamic’. Karena itu, orang perlu membandingkan survei itu dengan penelitian yang dilakukan sarjana dan lembaga lain.

Selain survei yang dilakukan lembaga semacam Gallup atau Pew Research Institute, juga ada penelitian Profesor Riaz Hassan berjudul ‘Faithlines’. Penelitian terakhir ini menempatkan kaum Muslim Indonesia pada peringkat tertinggi dalam ‘Islamisitas’ yang mencakup berbagai indikator sejak menyangkut keimanan, ibadah, pengalaman keagamaan, intelektual, sampai kepada konsekuensi keimanan-keislaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Percakapan saya dengan Irwandi Koto sepanjang penerbangan cukup pas menggambarkan fenomena Islamisitas dalam kerangka Riaz Hassan, guru besar emeritus Universitas Flinders, Adelaide, Australia. Pengalaman Irwandi Koto merepresentasi jutaan pemeluk Islam di negeri ini dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir yang dalam peningkatan ekonomi, juga memunculkan peningkatan orientasi dan kecintaan (attachment) kepada Islam.

Irwandi Koto (42 tahun) adalah seorang pengusaha rumah makan di Ngarai Sianok Bukittinggi dengan hidangan khusus gulai ‘itiak ijau’ (bebek hijau). Sehari menghabiskan tidak kurang dari 50 itik. Rumah makan ini boleh dikatakan cukup besar, tapi tampaknya cukup populer, baik di lingkungan warga Bukittinggi maupun wisatawan domestik yang berkunjung ke kota ‘Jam Gadang’ tersebut.

Bagi orang yang tahu enaknya gulai ‘itiak ijau’, pasti menjadikan rumah makan Irwandi sebagai tempat wisata kuliner yang mengasyikkan. Tidak merepresentasikan tipikal anak muda Minang yang gemar merantau ke luar Alam Minangkabau, Irwandi sebaliknya bertekun mengembangkan rumah makan warisan orang tuanya.

Berbekal keyakinan dan ketekunan, Irwandi perlahan, tapi pasti tampil menggambarkan fenomena kelas menengah Muslim Indonesia dengan berbagai konsekuensi keislamannya. Mempunyai dua orang putri, Irwandi dan istrinya mengirim keduanya ke Diniyah Putri Padangpanjang. Ini adalah madrasah modern khusus untuk putri yang didirikan Ibunda Rahman El Yunusiyah pada 1923, yang sampai sekarang telah menghasilkan alumni sejak dari tingkat TK sampai sekolah tinggi sekitar 19 ribu orang.

Sempat agak meredup, Diniyah Putri Padangpanjang mengalami momentum baru sejak dipimpin Fauziah Fauzan, cicit sang pendiri pada 2006. Irwandi senang dan puas dapat mengirim kedua putrinya ke Diniyah Putri walaupun biayanya tidak murah. Uang pangkal sekitar Rp 15 juta dan uang sekolah bulanan Rp 950 ribu untuk masing-masing putrinya yang kelas III dan I MTs.

Tidak ada nada keluhan Irwandi ketika bercerita tentang pembiayaan sekolah kedua putrinya, yang ada hanya harapan agar kedua putrinya itu dapat melanjutkan pendidikan mereka kelak ke lembaga pendidikan berkualitas tinggi. Mengirim anak ke lembaga pendidikan berkualitas tinggi yang memberikan pendidikan umum, sekaligus agama adalah salah satu impian dan gaya hidup kelas menengah Muslim Indonesia.

Umumnya, kelas menengah Muslim baru yang terus tumbuh ingin anak-anak mereka tidak hanya unggul dalam ilmu-ilmu modern, tetapi juga memahami dan menjalankan ajaran agama dengan baik. Namun, lebih daripada itu, salah satu gejala lain kelas menengah Muslim Indonesia adalah pergi ke Tanah Suci menjalankan haji dan/atau umrah.

Irwandi beruntung mampu naik haji dalam usia relatif muda. Melalui jalur khusus, yang dikenal sebagai ONH-Plus dengan biaya sekitar 9.500 dolar AS, Irwandi naik haji tahun 1433/2012 lalu. Jelas dana 9.500 dolar bukan sedikit—sekitar Rp 90 jutaan. Irwandi berniat menghajikan istrinya—meski harus menunggu sekitar empat tahun melalui jalur khusus ONH-Plus, atau 14 tahun lewat jalur reguler.

Sungguh fenomenal. Meningkatnya Islamisitas warga Muslim Indonesia merupakan gejala sangat observable dalam berbagai bidang kehidupan. Peningkatan Islamisitas memang belum serta-merta melenyapkan berbagai bentuk perbuatan tidak Islami di lingkungan masyarakat negara-bangsa Indonesia sejak dari perjudian, pelacuran, korupsi, dan pelbagai bentuk maksiat lain.

Semua maksiat itu tak bisa lain merupakan ‘PR’ mendesak bagi kaum Muslimin beserta umat-umat lain untuk ditangani. Insya Allah.

Leave a comment