Seno Kusumo

Sumber Tulisan : Disini

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Seno Kusumo Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Sabtu bakda Subuh awal Maret 2013. Monumen historis megah warisan Presiden Sukarno mulai ramai dengan orang-orang yang ingin senam, sepeda santai, joging, jalan santai, atau sekadar menikmati keramaian dan udara segar.

Di tengah kian menyempitnya ruang terbuka untuk publik di kawasan olahraga Senayan berganti dengan gedung-gedung jangkung, peninggalan Bung Karno ini tetap belum tertandingi.

Seno Kusumo. Mengantar putri saya ke GBK untuk ekskul atletik, Seno Kusumo menyapa dengan menyebut nama lengkap saya. Ia mengaku mengenal saya karena sering menyaksikan di layar kaca, memberikan komentar tentang berbagai masalah. Dan yang paling menarik baginya adalah soal politik, agama, dan nasib rakyat kecil.

Berasal dari Magelang, Jateng, Seno dan istrinya, Kartina, yang datang dari Majalengka, Jawa Barat, berdagang pecel di balik pagar GBK. “Sekarang kian sulit. Dulu kita jualan di dalam, di pinggir jalan lingkar GBK,” Seno bercerita.

Meski sulit, Seno dan Kartina tetap bersyukur karena mereka tidak dikenai pungutan macam-macam. “Paling Rp 2.000 untuk kebersihan. Kalau dikasih Rp 1.000, rasanya nggak enak.”

“Dulu ketika masih bernama Stadion Utama, senang berjualan di sini. Walau Persija, Persib, PSM, atau PSMS sering bertarung habis-habisan sebagai lawan abadi satu sama lain, PSSI-nya bersatu. Tidak macam-macam. Sekarang malah ribut dan berantem melulu, bukannya mengurusi agar sepak bola Indonesia bisa maju. Sangat malu kita dengan penduduk sekitar 240 juta tidak punya kesebelasan nasional yang kuat.”

Sebagai penggemar sepak bola, saya mengamini belaka cerita Seno. Ingatan saya kembali ke masa akhir 1970-an, masa ketika saya yang ketika itu masih mahasiswa sering menonton sepak bola di Stadion Utama Senayan. Memang sangat memalukan konflik dan pertengkaran yang tidak pernah habis di antara para pengurus sepak bola di negeri ini.

Duduk di palanta, bangku dekat gerobak pecel, saya mendapat kesempatan emas mendengarkan Seno curhat tentang macam-macam hal. Memiliki tiga anak, keluarganya tinggal di rumah petakan dengan sewa bulanan Rp 1 juta.

Padahal, upah bulanannya di sebuah perusahaan ekspedisi di kawasan Grogol, Jakarta Barat, hanya Rp 700 ribu. Ia mau menjadi karyawan tetap dengan upah jauh di bawah UMR. “Kalau outsourcing malah kita mudah dipecat seenak perut majikan,” katanya.

Dengan pendapatan yang jauh dari mencukupi, Seno dan Kartina berjualan pecel, untuk mencukupi kebutuhan, termasuk biaya sekolah anak-anak. Putri tertuanya belajar di sekolah Islam swasta dengan SPP Rp 100 ribu sebulan. Mengapa tidak dimasukkan ke sekolah negeri?
“Sama saja, Pak. Di (sekolah) negeri juga banyak pungutan tidak resmi walau katanya gratis.
Lagian di sekolah Islam, banyak pelajaran agamanya, dan anak-anaknya tidak suka tawuran.”

Lalu, Seno menguak kepedihannya ketika melihat banyak pejabat dan politisi yang dengan mudah meraup uang korupsi bermiliar-miliar. “Padahal, gaji, tunjangan, dan insentif lain yang mereka terima sudah sangat berlebih. Kerakusan mereka inilah yang menjadi sumber bencana di Tanah Air kita,” ujar Seno.

Seno ingin para pejabat dan politisi korup itu dihukum seberat-beratnya, disita harta kekayaannya, supaya jadi pelajaran bagi mereka dan orang-orang yang tergoda untuk korupsi.”Kalau hukumannya ringan seperti sekarang, pastilah semakin banyak pejabat dan politisi yang korupsi. Hukuman tersebut tidak membuat mereka jera dan mencegah yang lain untuk tidak korupsi.”

Saya tersedak. Langit Senayan tiba-tiba mendung di hati saya. Tak bisa lain, setuju belaka dengan pendapat Seno yang pasti mewakili ungkapan hati puluhan atau bahkan ratusan juta rakyat Indonesia. Di permukaan mereka kelihatan seolah membisu, silent masses yang teralineasi dari berbagai perubahan dan bahkan kerusakan.

Karena itulah, para pejabat dan politisi korup yang sudah tertutup matanya, tuli kupingnya, kelam nuraninya, menganggap rakyat kecil seperti Seno tidak tahu apa-apa karena mereka sibuk dengan perjuangan untuk bisa bertahan hidup.

Boleh jadi pula mereka menganggap, Seno dan anak negeri lainnya tidak perlu dipedulikan.
Seno memberi pelajaran sangat baik kepada saya dan boleh jadi juga untuk warga Indonesia lain.
Pelajaran terpenting adalah jangan underestimate, menganggap remeh `orang kecil’ seperti Seno dan banyak lagi anak negeri semacamnya. Meski dalam hal penampilan boleh jadi kelihatan kumuh dan lusuh, mereka bukan tidak tahu dan tidak peduli pada masalah bangsa ini.

Para pejabat dan politisi yang mendapat gaji, tunjangan, dan berbagai insentif lain seharusnya mau mendengar dan belajar dari rakyat kecil.Tidak sekadar blusukan dan dikelilingi warga yang berdesakan ingin bersalaman dan berfoto.Rakyat sesungguhnya menginginkan lebih daripada itu.