Pendidikan yang Membebaskan

Sumber Tulisan : Disini

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra

Desa Cerdas Mandiri (DCM) untuk Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Topik ini menjadi pembicaran meja bundar Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) awal pekan lalu (18/2).

Berbicara dalam diskusi, bagi saya pembentukan Desa Cerdas Mandiri (DCM) di daerah tertinggal sangat strategis untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya yang masih bertahan di banyak daerah Indonesia.

Menurut perkiraan mutakhir, masih terdapat sekitar 183 Kabupaten  tertinggal dan lebih 60 persen ada di kawasan timur Indonesia. Juga jelas masih banyak daerah/desa tertinggal di kawasan lain, bahkan di tempat yang tidak jauh dari ibu kota Jakarta. Meski anggaran pendidikan sudah 20 persen APBN/APBD, pendidikan di daerah tertinggal tetap terkebelakang. IPM desa tertinggal pada 2012 masih rendah, 69,9 dan pada 2014 diharapkan dapat mencapai 72,2.

Mengingat masyarakat desa tertinggal dalam banyak segi, perlu strategi pemberdayaan DCM komprehensif. Setidaknya strategi itu mencakup tiga bidang besar: pendidikan, sosial-budaya, dan ekonomi.

Strategi dalam ketiga bidang ini niscaya terkait satu sama lain, sehingga memerlukan pendekatan integratif. Dari ketiga bidang itu, peningkatan pendidikan merupakan prioritas paling mendesak. Peningkatan pendidikan DCM memerlukan pendidikan alternatif yang juga  komprehensif dan holistik.

Pendidikan formal dasar dan menengah (SD-SMP/MI-MTs) memang telah tersedia di banyak desa dan daerah tertinggal, bahkan sejak masa Orba melalui ‘sekolah Inpres’. Selain itu, juga terdapat dikdasmen yang dikembangkan ormas, yayasan, dan perorangan. Meski menghadapi banyak keterbatasan, sejak dari prasarana dan fasilitas pendidikan lain, tenaga guru, bahan dan buku untuk pengajaran dan pembelajaran, lembaga pendidikan formal ini telah memberikan kontribusi penting ke arah peningkatan IPM desa tertinggal.

Karena itu, yang kini sangat mendesak dilakukan adalah konsolidasi berbagai lembaga dikdasmen melalui kerja sama antarkementerian dan lembaga terkait seperti Kemenko Kesra, Kemendikbud, Kemenag, Kemensos, Kominfo, Kemenakertrans, Pemda Kabupaten, dan bahkan lembaga/donor internasional yang juga menaruh minat pada perbaikan pendidikan daerah tertinggal. Yang diperlukan adalah katalisator dan focal point, yang  untuk konsolidasi lembaga dikdasmen di desa dengan segala potensi pembelajaran dan belajar dalam masyarakat menjadi semacam ‘jaringan belajar’ (learning webs) seperti diusulkan Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971), yang dapat disebut juga sebagai ‘sekolah tanpa dinding’ (schools without wall).

Tanpa harus mengambil mentah-mentah konsep Illich tentang ‘masyarakat tanpa sekolah” yang juga kurang realistis, gagasannya dapat dimodifikasi dengan menciptakan ‘jaringan belajar’ di antara berbagai lembaga pendidikan formal dan nonformal  dengan segenap potensi kependidikan yang genuine ada dalam masyarakat bersangkutan seperti majelis taklim, kerapatan adat, pengajian anak-anak, didikan Subuh/duha, diniyah, dan karang taruna.

Pendekatan ‘jaringan belajar’ dapat dipadukan dengan kerangka Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (Portugis 1968; Inggris 1970). Menurut Freire, pendidikan perlu refungsionalisasi agar dapat membebaskan peserta didik dari ketertindasan (oppression); pendidikan formal belum mampu membebaskan anak didik karena kelemahan filsafat pendidikan, dan praktik-pedagogi pembelajaran ketinggalan zaman, dan juga sebab adanya struktur-struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik menindas.

Sebab itu, harus dibangun pedagogi baru yang melibatkan guru, peserta didik, dan warga masyarakat menuju ‘konsientisasi’ (conscientization)—penciptaan kesadaran baru peserta didik umumnya. Dalam penciptaan jaringan belajar dengan ‘pedagogi konsientisasi’, perlu ‘katalisator’ misalnya, melalui program ‘Sarjana Masuk Desa’ (SMD)—semacam program BUTSI pada masa Orde Baru. Dalam program SMD, pemerintah dapat merekrut para sarjana (S1) untuk bekerja selama dua-tiga tahun di desa tertinggal sebagai ‘katalisator’ dan focal point bagi pembentukan jaringan belajar. Melalui kerja sama antarkementerian dan lembaga, SMD dapat diberi insentif finansial dan prospek lapangan kerja pascatugas di desa tertinggal.

Setiap peserta SMD berperan sebagai ‘pendamping’ masyarakat belajar; juga sebagai fasilitator untuk pemberdayaan peserta didik dan warga masyarakat. Ia juga patut memainkan peran ‘advokator’—mengadvokasi masyarakat untuk mendapatkan hak-hak dan kewajibannya dalam berbagai bidang—tidak hanya pendidikan, tetapi juga sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dengan begitu, desa terkebelakang tidak hanya dapat meningkatkan IPM-nya, juga kian terbebaskan dan makin mandiri dalam berbagai aspek kehidupannya. Untuk penguatan jaringan belajar, perlu pengadaan ketersediaan fasilitas internet.

Dengan fasilitas ini, peserta didik dan warga yang berpartisipasi dalam jaringan belajar dapat mengakses sumber belajar dan ilmu pengetahuan yang mutlak bagi akselerasi pendidikan. Dengan akses kian terbuka pada sumber pengetahuan, desa terkait akhirnya dapat menjadi ‘Desa Cerdas Mandiri’ (DCM).