Kembali ke Jati Diri (2)

Oleh: Azyumardi Azra

Jati diri Islam Indonesia wasathiyah memiliki ortodoksinya sendiri, terdiri dari tiga aspek; kalam (teologi) Asy’ariyah-Jabariyah, fiqh mazhab Syafi’i dan tasawuf al-Ghazali. Ketiga aspek ortodoksi ini terbentuk khususnya sejak abad 17-18 berkat usaha ulama besar otoritatif seperti Syekh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Abd al-Samad al-Palimbani dan banyak lagi.

Ortodoksi Islam Indonesia wasathiyah berbeda misalnya dengan ortodoksi Islam Arab Saudi, misalnya, yang terdiri dari hanya dua aspek: kalam Salafi-Wahabi, dan fiqh mazhab Hanbali. Sedangkan tasawuf hampir tidak mendapat tempat dalam ortodoksi Saudi karena menurut otoritas ulama Saudi, tasawuf mengandung banyak bid’ah dan khurafat.

Ortodoksi Islam Indonesia wasathiyah—memodifikasi kerangka antropolog Robert Redfield (1897-1958)—menjadi ‘tradisi besar’ (great tradition) yang mencakup berbagai ‘tradisi lokal’ (local tradition) yang dipraktikkan suku-suku dan komunitas Muslim beragam. Interaksi dan tukar menukar yang berlangsung terus menerus di antara kedua tradisi ini menghasilkan konvergensi aliran dan paham keagamaan, yang justru kian memperkuat paradigma Islam Indonesia wasathiyah.

Dalam perspektif perbandingan, ‘tradisi besar’ ortodoksi Islam Arab Saudi misalnya mencakup ‘tradisi kecil’ Najdi yang berasal dari kawasan timur yang merupakan sumber paham Wahabi yang kaku dan ketat dengan tema pemurniannya. Pada pihak lain, ada ‘tradisi kecil’ Hijazi yang lebih akomodatif karena sejak lama menjadi kosmopolit berkat posisi Makkah dan Madinah sebagai pusat ibadah haji, umrah dan ziarah.

Berbagai dinamika dan perubahan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang tidak mampu menggoyahkan jati diri Islam Indonesia wasathiyah. Sebaliknya, para penjajah menjadi saksi konsolidasi Islam Indonesian washatiyah, tidak hanya dalam hal murni keagamaan seperti aqidah dan ibadah, tetapi juga dalam kelembagaan ormas Islam, pendidikan Islam (pesantren, madrasah dan sekolah Islam), pelayanan kesehatan, dan penyantunan sosial.

Semua ini menjadi warisan (legacy) sangat kaya dan beragam yang dimiliki Islam Indonesia. Dapat dikatakan, tidak ada negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang memiliki legacy sebanyak dan sekaya Indonesia.

Pembangunan atau modernisasi yang menemukan momentum sejak masa Orde Baru juga tidak mampu mengubah jati diri Islam Indonesia washatiyah. Jika modernisasi sering disebut para ahli hanya menyingkirkan agama, sebaliknya modernisasi di Indonesia memunculkan intensifikasi keagamaan yang terlihat dalam kecintaan yang kian meningkat pada Islam (increased attachment to Islam).

Intensifikasi keislaman di Indonesia dalam proses modernisasi tidak hanya meningkatkan pendidikan kaum Muslimin, sekaligus memunculkan konvergensi keagamaan. Berbagai kecenderungan dan praktek keagamaan (tradisi kecil) yang dalam dan satu hal berbeda kini bersatu (convergent). Tetapi tetap saja konvergensi keagamaan itu memperkuat jati diri Islam Indonesia washatiyah.

Tantangan serius terhadap Islam Indonesia washatiyah justru mulai muncul secara terbuka sejak masa pasca-Orde Baru—era yang ditandai demokratisasi dan liberalisasi politik. Memanfaatkan suasana kebebasan politik dan sosial, berbagai paham dan praksis Islam transnasional—dengan ortodoksi yang tidak kompatibel dengan Islam Indonesia wasathiyah—berusaha mendapat pengikut di Indonesia.

Ketidaksesuaian itu Islam Indonesia wasathiyah dengan paham dan praksis Islam transnasional pertama-tama terlihat dari paradigma keislamannya. Paham dan praksis Islam transional cenderung literal yang dengan mudah menjerumuskan para pengikutnya ke dalam ekstrimisme dan radikalisme.

Tak kurang pentingnya adalah menyangkut politik. Jika Islam Indonesia wasathiyah telah menerima empat prinsip dasar dalam negara-bangsa Indonesia, yaitu NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebaliknya gerakan transnasional mengimpikan dawlah Islamiyah dan/atau khilafah.

Mencermati fenomena itu, banyak kalangan baik di dalam maupun luar negeri mencemaskan masa depan Islam Indonesia wasathiyah. Sementara mereka yang menganut paham dan praksis Islam transnasional terlihat sangat aktif, dalam pada itu, ormas-ormas Islam pemegang Islam wasathiyah nampak pasif. Hanya sekali-kali mereka bersuara tegas dan jelas menolak paham dan praksis Islam transnasional.

Ormas-ormas Islam yang memegangi jati diri wasathiyah seperti NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas berpaham sama di seantero Indonesia jelas memiliki peran krusial dalam menjaga keutuhan negara-bangsa Indonesia. Karena itu, ormas-ormas ini perlu senantiasa memperkuat jati diri Islam wasathiyah Indonesia.

Dengan penguatan terus menerus, mereka dapat menjadi aktor utama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga untuk aktualisasi Islam rahmatan lil ‘alamin dan penciptaan kedamaian di Dunia Muslim secara keseluruhan. Hanya dengan kedamaian, umat Islam dapat kembali memberi sumbangan signifikan dalam pembangunan peradaban berkeadaban dan berkemajuan. []

REPUBLIKA, 24 November 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Kembali ke Jati Diri (1)

Oleh: Azyumardi Azra

Karakter atau jati diri Islam Indonesia adalah wasathiyah yang bersifat tawasuth dan tawazun. Dalam terminologi kajian Islam di dunia internasional Islam wasathiyah sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’—‘Islam berkeseimbangan secara adil’—atau juga ‘middle path Islam’—‘Islam jalan tengah’.

Paradigma Islam wasathiyah berlandaskan ayat Alquran, Surah al-Baqarah (2): 143 tentang ummatan wasathan: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu [umat Islam] ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi [atas[ perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu”.

Seperti dikemukakan Profesor Mohammad Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (2015), penyebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan (midmost community) juga berarti sebagai umat terbaik yang pernah diciptakan Allah (Alu ‘Imran 3: 110). Hal ini tidak lain karena umat Islam didedikasikan untuk peningkatan kebajikan dan pencegahan kemungkaran, pembangunan bumi untuk kesejahteraan manusia, dan penegakan keadilan di muka bumi.

Jati diri sebagai ummatan wasathan berdasarkan prinsip wasathiyah didefinisikan Kamali sebagai; “postur direkomendasikan yang terwujud dalam diri orang yang memiliki naluri dan intelek yang sehat, yang ditandai dengan ketidaksukaan pada ekstrimisme dan kecerobohan yang nyata”.

Wacana dan paradigma mengenai Islam wasathiyah relatif baru. Pembicaraan tentang subyek ini mulai berkembang sejak awal abad 20, disinggung dalam berbagai karya pemikir di Dunia Arab semacam Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad al-Madani, Muhammad Syaltut, Yusuf al-Qaradhawi dan Wahbah al-Zuhayli.

Menurut Wahbah al-Zuhayli, “dalam percakapan umum di antara kalangan masyarakat di masa kita, wasathiyah berarti moderasi dan keseimbangan (i’tidal) dalam keimanan, moralitas dan karakter; dalam cara memperlakukan orang lain; dan dalam sistem terapan tatanan sosial-politik dan tata pemerintahan”.

Kebalikan wasathiyah adalah ekstrimisme (tatharruf) yang menurut pandangan Islam dapat berlaku bagi siapapun yang melewati batas dan ketentuan syari’ah. Tatharruf juga berlaku bagi orang yang melewati batas moderasi, pandangan mayoritas umat (ra’y al-jama’ah); dan juga bagi orang yang bertindak dalam norma dan praktik lazim sudah berlebih-lebihan dan aneh.

Muncul dan berkembangnya wacana tentang ummatan wasathan dan Islam wasathiyah di Timur Tengah merupakan respon intelektual terhadap kecenderungan meningkatnya ekstrimisme di kalangan Muslim di kawasan tersebut. Meski pada tingkat intelektual keislaman konsep ummatan wasathan dan Islam wasathiyah diterima, namun dalam praktiknya susah terlaksana.

Kesulitan penerapan paradigma Islam wasathiyah dan ummatan wasathan di berbagai kawasan Muslim di Timur Tengah atau Asia Selatan terkait dengan kuatnya sektarianisme keagamaan, kabilah, sosial, budaya dan politik. Sektarianisme yang ada berlapis-lapis baik intra-umat Islam sendiri maupun antara umat Islam dengan umat-umat agama lain.

Keadaan ini berbeda dengan umat Islam Indonesia yang umumnya menerapkan Islam wasathiyah. Tradisi umat Islam Indonesia sebagai ummatan wasathan telah terbentuk melalui perjalanan sejarah amat panjang.

Tradisi ini dimulai dengan proses Islamisasi yang berlangsung damai dengan melibatkan banyak akomodasi dan akulturasi dengan budaya lokal. Proses seperti ini di masa awal memunculkan gejala sinkretisme dengan kepercayaan dan praktek agama lokal. Tetapi sepanjang sejarah pula berlangsung gelombang demi gelombang pembaharuan Islam, yang pada inti bertujuan membawa pemikiran dan praktek kaum Muslimin Indonesia kian lebih dekat dan menjadi lebih sesuai dengan ortodoksi Islam.

Proses-proses inilah kemudian memunculkan ortodoksi Islam Indonesia. Meski dalam prinsip-prinsip pokok aqidah dan ibadah hampir tidak ada beda antara kaum Muslimin Indonesia dengan saudara-saudara seiman-seislam mereka di tempat-tempat lain, jelas pula terdapat distingsi Islam Indonesia.

Salah satu distingsi utama kaum Muslimin Indonesia itu adalah kepenganutan pada paradigma Islam wasathiyah. Dengan paradigma dan praksis wasathiyah, umat Islam Indonesia dapat tercegah dari sektarianisme keagamaan, kesukuan dan sosial-politik yang bernyala-nyala. Karena itulah kaum Muslimin Indonesia yang memiliki kecenderungan pemahaman dan praktik keislaman yang berbeda dalam hal ranting (furu’iyah) terhindar dari pertikaian dan konflik yang bisa tidak berujung.

Dengan distingsi wasathiyah itu pula arus utama Muslim Indonesia dapat bersikap inklusif, akomodatif dan toleran pada umat beragama lain. Tanpa kepenganutan pada Islam wasathiyah, dengan realitas demografis Muslim sebagai mayoritas absolut penduduk di negeri ini sulit dibayangkan bisa terwujud negara-bangsa Indonesia. []

REPUBLIKA, 17 November 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Moderasi Islam

Oleh : Azyumardi Azra

Pembicaraan tentang konsep, wacana, dan praksis Islam wasathiyyah menemukan momentum terkuat sejak Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang sedikit berimpitan waktunya pada Agustus 2015. Tumpang-tindih dengan wacana dan diskusi tentang Islam Nusantara, perlu elaborasi lebih jauh tentang wacana dan praksis tentang Islam wasathiyyah beserta pranata dan lembaga yang mutlak bagi aktualisasi Islam wasathiyyah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Elaborasi dan pengayaan wacana beserta praksis Islam wasathiyyah mendapat sumbangan penting Mohammad Hashim Kamali dalam karyanya, The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (Oxford & New York: Oxford University Press, 2015, xi+310 hlm). Seperti terlihat dalam judul ini, Kamali tidak menggunakan istilah ‘Islam wasathiyyah’, yang lazim digunakan di Indonesia. Ia menggunakan istilah ‘jalan tengah moderasi Islam’ berdasarkan prinsip Alquran tentang wasathiyyah.

Di Indonesia istilah ‘moderasi Islam’ atau ‘moderasi dalam Islam’ yang terkait dengan istilah ‘Islam moderat’ sering dipersoalkan segelintir kalangan umat Islam sendiri. Bagi mereka, Islam hanyalah Islam; tidak ada moderasi Islam atau Islam moderat. Karena itulah, istilah ‘Islam wasathiyyah’ yang ‘Qur’ani’–bersumber dari ayat Alquran (QS al-Baqarah [2]: 143) lebih diterima dan karena itu lebih lazim digunakan.

Terlepas dari soal peristilahan, buku Kamali, asal Afghanistan, yang sejak 1985 menjadi guru besar pada Universitas Islam Antar-Bangsa Kuala Lumpur dan Kepala Institut Kajian Lanjutan Islam Malaysia, merupakan karya orisinal komprehensif yang membahas ‘jalan tengah moderasi dalam Islam’. Dalam kerangka itu, ia mendasarkan pembahasan pada prinsip Qur’ani tentang wasathiyyah dari sudut analisis konseptual, perspektif tematik yang kemudian disertai sejumlah rekomendasi.

Dalam kajian tentang ‘jalan tengah moderasi dalam Islam’, Kamali menggunakan banyak rujukan ayat Alquran dan hadis serta penafsiran ulama arus utama (mainstream). Ia tidak hanya memaparkan pembahasan subjek ini di kalangan ulama dan pemikir Sunni, tapi juga ulama Syi’i. Bagi Kamali, pengikut Sunni, pembahasan dengan mengikutkan kedua sayap besar kaum Muslimin ini penting dilakukan untuk mengeksplorasi pandangan masing-masing sehingga dapat menumbuhkan saling pengertian dan bahkan kesatuan umat.

Menurut Hashim Kamali, wasathiyyah merupakan aspek penting Islam, yang sayang agak terlupakan oleh banyak umatnya. Padahal, ajaran Islam tentang wasathiyyah mengandung banyak ramifikasi dalam berbagai bidang yang menjadi perhatian Islam. Moderasi diajarkan tidak hanya oleh Islam, tapi juga agama lain.

Misalnya, dalam keimanan dan tradisi Yunani-Yahudi dan Kristianitas, moderasi disebut sebagai ‘golden mean’, pertengahan yang diinginkan di antara dua sudut ekstrem yang memunculkan berbagai macam ekses. Hal yang sama juga ditekankan religio-filsafat Budhisme, yang menekankan kepada para penganutnya menghindari asketisme keagamaan sangat ketat atau sebaliknya menikmati kesenangan duniawi secara berlebihan. Sedangkan, dalam Konfusianisme ada ajaran Zhongyong yang menekankan moderasi kehidupan.

Karena itu, panggilan untuk moderasi perlu diingatkan kembali kepada para pemeluk semua agama, filsafat, tradisi budaya, dan masyarakat. Lebih jauh, perlu advokasi moderasi di muka bumi; di antara umat Islam, Kristianitas, Yahudi, Hindu, Buddha, dan penganut agama lain.

Menggunakan istilah wasathiyyah dan moderasi secara bergantian, Kamali memandang moderasi terutama menyangkut kebajikan moral,yang relevan tidak hanya dengan kehidupan individual, tetapi juga integritas dan citra diri komunitas dan bangsa. Moderasi dalam proyeksi Qur’ani menyangkut identitas diri dan pandangan dunia komunitas atau umat Islam. Lebih jauh, moderasi adalah kebajikan yang membantu terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan dan masalah personal, dalam keluarga dan masyarakat serta spektrum hubungan antarmanusia lebih luas.

Kamali benar dengan menyatakan, kebutuhan pada pemahaman wasathiyyah menemukan signifikansi dalam masyarakat yang kian plural atau majemuk dewasa ini. Tetapi pada saat yang sama, ketegangan antarkelompok manusia juga kian meningkat, khususnya setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, pengeboman di Madrid, London, Bali, dan seterusnya sampai peristiwa terakhir di Paris belum lama ini.

Penyebaran dan meningkatnya ekstremisme dan kekerasan menimbulkan korban bukan hanya di berbagai tempat tadi, tetapi juga di berbagai kawasan dunia Muslim. Bahkan, jumlah korban nyawa dan kerusakan harta benda di banyak negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan jauh lebih besar.

Karena itu, menurut Hashim Kamali, peningkatan moderasi jalan tengah Islam merupakan kebutuhan sangat mendesak bagi Muslimin. Di sini Kamali mengutip Buya Syafii Maarif yang menyatakan, orang-orang radikal Muslim, sesungguhnya sangat minoritas di tengah lautan umat moderat. “Karena itu, mayoritas moderat memiliki kekuatan untuk mengutuk kelompok radikal. Sayang, mayoritas kaum moderat lebih senang berdiam diri daripada mengonter orang radikal.” []

REPUBLIKA, 17 Desember 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia